Senja yang menggurat indah sore ini sama sekali tak ada artinya bagi Tisya.
Dia terlalu membenamkan perasaannya pada kepedihan yang merajam hatinya beberapa
minggu lalu. Bagaimana tidak, orang yang begitu dia percayai dan sayangi,
meluluhlantahkan perasaannya dalam sepenggal kalimat. Ya! Dia harus menelan
kenyataan pahit.
“Kenapa harus ada tangisan
di sela- sela bahagiaku,” gumam Tisya sambil menghela napas panjang. Dia
berdiam diri tepat di bawah pohon beringin setinggi dua setengah meter. Pikirannya melayang- layang. Otaknya terus
berotasi berusaha mengingat kejadian yang sebenarnya tak pantas terjadi. Dimana dia harus menyaksikan orangtuanya
beradu mulut, bahkan beradu fisik. Hingga dia harus menumpahkan jutaan airmata.
“Sampai kapan kamu akan
marah pada mama?” Tanya sesosok wanita yang begitu cantik, anggun, dan bertubuh
tinggi besar.
Tisya bergeming. Tak ada
yang berani mengeluarkan sepatah kata pun. Keduanya sama- sama membuang
pandangan pada langit yang semakin gelap.
“Harusnya Mama sadar diri, Ma! Mama udah ngehancurin
semuanya!” Ucap Tisya pada akhirnya.
“Mama Cuma lelah, Tis. Capek. Dan…”
“CUKUP!” Bentak Tisya saambil bangkit dari posisi
duduknya.
Mama tersentak. Mulutnya menganga. Dia sama sekali tak
menyangka Tisya bisa semarah itu. Tisya yang mama kenal selama ini adalah orang
yang sabar dan lemah lembut. Kini dia benar- benar berbeda.
“Ma, apa mama pikir ucapan mama kemarin bisa menyelesaikan masalah? Enggak, Ma! Enggak!
Yang ada justru memperburuk masalah. Aku pikir selama ini mama adalah orang
yang bijak, dan bisa jadi panutan, tapi apa? Mama nggak lebih dari seorang
pengecut!” tanpa disadari pipi Tisya mulai dipenuhi luluhan air bening. Dia terisak.
“Waktu
itu mama hanya ingin papamu tahu bahwa tuduhannya itu salah, Tis. Mama lelah
terus dicurgai!”
“Tapi
mama memang salah kan? Mama jalan dengan lelaki lain untuk kesekian kalinya!
Tuduhan papa itu benar. Dan aku sangat menyesal telah mempercayai mama.”
Mama
tertunduk. Airmata mulai mengisi ruang kosong dimatanya. Dia sadar betul akan
kesalahannya. Dia hanya tidak mau Tisya meninggalkannya. Dia terlalu menyayangi
Tisya.
Tisya
geram. Dia mengepal tangan kanannya, kemudian di hempaskannya tangan itu ke
pohon hingga darah menetes dari tiap jarinya. Darah itu melumuri batang pohon
yang mulanya berwarna cokelat.
“Aku
benci mama! Aku benci semua kebusukan mama! Mama pembunuh! Mama udah ngebunuh papa!”
Tisya terus terisak dalam kepedihan. Sebenarnya dia jijik untuk mengatakan mama
pembunuh, bagaimana pun mama adalah ibunya. Orang yang melahirkannya. Tapi di
sisi lain dia pun terlalu sakit untuk melihat papanya meninggal tak wajar
karena ucapan mamanya yang ingin menceraikan beliau. Benar- benar tak pantas
dimaafkan.
“Kenapa
mama nggak ngebunuh aku sekalian, Ma? Kenapa? Bukankah mama akan bebas berjalan
dengan laki- laki lain bila tanpa kehadiranku?” Tisya memegang erat bahu
mamanya. Menggoncangkan tubuhnya berulang kali. Tisya semakin tak tahan akan
keadaan ini. Napasnya terengah- engah.
“Kamu
selalu menyalahkan Mama, Tis. Asal kamu tau, mama pun tertekan akan sikapmu
yang terus seperti ini!”
“Siapapun
yang berani berbuat, dia harus menanggung resikonya, Ma.”
“Oke!
Mama minta maaf.”
“Maaf?
Kata maaf nggak akan mengembalikan semuanya. Percuma.”
“Terus
mau kamu apa sih? Mama bingung sama sikap kamu yang terus kaya anak kecil gini,
Tis.”
Tisya
menghilangkan airmata yang terlanjur jatuh di pipinya. Dia tak mau terlihat
lemah di hadapan mamanya.
“Tisya
ingin pergi dari kehidupan mama!” Tisya melangkah pergi. Dengan kekuatan penuh,
mama menarik tangan Tisya sebelum Tisya benar- benar lolos. Dan tangan kiri
mama menarik bahu Tisya, kemudian mama mendekap Tisya dalam pelukannya.
“Maafkan
mama, Tisya. Maafkan. Mama memang salah telah membuat papamu tiada. Mama menyesal.
Benar- benar menyesal. Mama tidak tau harus berbuat apa lagi. Maafkan mama, sayang,”
mama meraung kesedihan. Tisya dapat merasakan mamanya sangat menyesal.
“Tapi
Mama udah merenggut kebahagianku, Ma,” tanpa Tisya sadari air mata mulai
membasahi pipinya, dia tak dapat menahan perasaannya.
“Mama
tau, mama ngerti. Namun apa yang bisa mama lakukan, sayang? Apa?” mata Mama mulai
sembab. “Mama hanya tidak mau kehilangan orang yang mama cintai untuk kedua
kalinya,” sambungnya di tengah belaian angin senja.
tidak mau kehilangan orang yang dicintai
untuk kedua kalinya? Apakah artinya selama ini mama juga
masih mencintai papa? Apa mungkin Tisya terlalu berlebihan menyimpan dendam
pada mamanya? Tisya melepas pelukan mamanya, “Ma, apa sejauh ini mama juga
merindukan papa?”
Mama
mengangguk yakin. Tanpa pikir panjang Tisya memeluk mamanya dengan pelukan
hangat. Mendekapnya penuh rindu dan kasih sayang. Dia merasa bodoh karena telah
menyianyiakan mamanya. Padahal hanya beliaulah satu- satunya orang di bumi ini yang
begitu sayang pada Tisya.
Mereka
terduduk di bawah pohon beringin. Menikmati senja yang semakin indah. Merasakan
biasan sinar jingga yang menerpa kulit mereka. Tangan kiri Tisya melingkar di
pinggang mamanya. Begitupun dengan tangan kanan mama yang menaungi pundak
Tisya.
“Ma,
maafin Tisya ya. Aku udah terlalu lama menyimpan benci.”
Mama
tersenyum manis, menatap Tisya, kemudian mengecup keningnya. Tisya yakin
papanya pun bahagia melihat kebersamaan ini. Setidaknya Tisya masih punya mama,
titipan Tuhan yang akan selalu jadi bidadari hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar