Selasa, 25 Juni 2013

Aku, dia, dan Senja



Senja yang menggurat indah sore ini sama sekali tak ada artinya bagi Tisya. Dia terlalu membenamkan perasaannya pada kepedihan yang merajam hatinya beberapa minggu lalu. Bagaimana tidak, orang yang begitu dia percayai dan sayangi, meluluhlantahkan perasaannya dalam sepenggal kalimat. Ya! Dia harus menelan kenyataan pahit.
            “Kenapa harus ada tangisan di sela- sela bahagiaku,” gumam Tisya sambil menghela napas panjang. Dia berdiam diri tepat di bawah pohon beringin setinggi dua setengah meter.  Pikirannya melayang- layang. Otaknya terus berotasi berusaha mengingat kejadian yang sebenarnya tak pantas terjadi.       Dimana dia harus menyaksikan orangtuanya beradu mulut, bahkan beradu fisik. Hingga dia harus menumpahkan jutaan airmata.
            “Sampai kapan kamu akan marah pada mama?” Tanya sesosok wanita yang begitu cantik, anggun, dan bertubuh tinggi besar.
            Tisya bergeming. Tak ada yang berani mengeluarkan sepatah kata pun. Keduanya sama- sama membuang pandangan pada langit yang semakin gelap.
“Harusnya Mama sadar diri, Ma! Mama udah ngehancurin semuanya!” Ucap Tisya pada akhirnya.
“Mama Cuma lelah, Tis. Capek. Dan…”
“CUKUP!” Bentak Tisya saambil bangkit dari posisi duduknya.
Mama tersentak. Mulutnya menganga. Dia sama sekali tak menyangka Tisya bisa semarah itu. Tisya yang mama kenal selama ini adalah orang yang sabar dan lemah lembut. Kini dia benar- benar berbeda.
“Ma, apa mama pikir ucapan mama kemarin bisa menyelesaikan masalah? Enggak, Ma! Enggak! Yang ada justru memperburuk masalah. Aku pikir selama ini mama adalah orang yang bijak, dan bisa jadi panutan, tapi apa? Mama nggak lebih dari seorang pengecut!” tanpa disadari pipi Tisya mulai dipenuhi luluhan air bening. Dia terisak.
“Waktu itu mama hanya ingin papamu tahu bahwa tuduhannya itu salah, Tis. Mama lelah terus dicurgai!”
“Tapi mama memang salah kan? Mama jalan dengan lelaki lain untuk kesekian kalinya! Tuduhan papa itu benar. Dan aku sangat menyesal telah mempercayai mama.”
Mama tertunduk. Airmata mulai mengisi ruang kosong dimatanya. Dia sadar betul akan kesalahannya. Dia hanya tidak mau Tisya meninggalkannya. Dia terlalu menyayangi Tisya.
Tisya geram. Dia mengepal tangan kanannya, kemudian di hempaskannya tangan itu ke pohon hingga darah menetes dari tiap jarinya. Darah itu melumuri batang pohon yang mulanya berwarna cokelat.
“Aku benci mama! Aku benci semua kebusukan mama! Mama pembunuh! Mama udah ngebunuh papa!” Tisya terus terisak dalam kepedihan. Sebenarnya dia jijik untuk mengatakan mama pembunuh, bagaimana pun mama adalah ibunya. Orang yang melahirkannya. Tapi di sisi lain dia pun terlalu sakit untuk melihat papanya meninggal tak wajar karena ucapan mamanya yang ingin menceraikan beliau. Benar- benar tak pantas dimaafkan.
“Kenapa mama nggak ngebunuh aku sekalian, Ma? Kenapa? Bukankah mama akan bebas berjalan dengan laki- laki lain bila tanpa kehadiranku?” Tisya memegang erat bahu mamanya. Menggoncangkan tubuhnya berulang kali. Tisya semakin tak tahan akan keadaan ini. Napasnya terengah- engah.
“Kamu selalu menyalahkan Mama, Tis. Asal kamu tau, mama pun tertekan akan sikapmu yang terus seperti ini!”
“Siapapun yang berani berbuat, dia harus menanggung resikonya, Ma.”
“Oke! Mama minta maaf.”
“Maaf? Kata maaf nggak akan mengembalikan semuanya.  Percuma.”
“Terus mau kamu apa sih? Mama bingung sama sikap kamu yang terus kaya anak kecil gini, Tis.”
Tisya menghilangkan airmata yang terlanjur jatuh di pipinya. Dia tak mau terlihat lemah di hadapan mamanya.
“Tisya ingin pergi dari kehidupan mama!” Tisya melangkah pergi. Dengan kekuatan penuh, mama menarik tangan Tisya sebelum Tisya benar- benar lolos. Dan tangan kiri mama menarik bahu Tisya, kemudian mama mendekap Tisya dalam pelukannya.
“Maafkan mama, Tisya. Maafkan. Mama memang salah telah membuat papamu tiada. Mama menyesal. Benar- benar menyesal. Mama tidak tau harus berbuat apa lagi. Maafkan mama, sayang,” mama meraung kesedihan. Tisya dapat merasakan mamanya sangat menyesal.
“Tapi Mama udah merenggut kebahagianku, Ma,” tanpa Tisya sadari air mata mulai membasahi pipinya, dia tak dapat menahan perasaannya.
“Mama tau, mama ngerti. Namun apa yang bisa mama lakukan, sayang? Apa?” mata Mama mulai sembab. “Mama hanya tidak mau kehilangan orang yang mama cintai untuk kedua kalinya,” sambungnya di tengah belaian angin senja.
tidak mau kehilangan orang yang dicintai untuk kedua kalinya? Apakah artinya selama ini mama juga masih mencintai papa? Apa mungkin Tisya terlalu berlebihan menyimpan dendam pada mamanya? Tisya melepas pelukan mamanya, “Ma, apa sejauh ini mama juga merindukan papa?”
Mama mengangguk yakin. Tanpa pikir panjang Tisya memeluk mamanya dengan pelukan hangat. Mendekapnya penuh rindu dan kasih sayang. Dia merasa bodoh karena telah menyianyiakan mamanya. Padahal hanya beliaulah satu- satunya orang di bumi ini yang begitu sayang pada Tisya.
Mereka terduduk di bawah pohon beringin. Menikmati senja yang semakin indah. Merasakan biasan sinar jingga yang menerpa kulit mereka. Tangan kiri Tisya melingkar di pinggang mamanya. Begitupun dengan tangan kanan mama yang menaungi pundak Tisya.
“Ma, maafin Tisya ya. Aku udah terlalu lama menyimpan benci.”
Mama tersenyum manis, menatap Tisya, kemudian mengecup keningnya. Tisya yakin papanya pun bahagia melihat kebersamaan ini. Setidaknya Tisya masih punya mama, titipan Tuhan yang akan selalu jadi bidadari hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar