Ketakutan
menyeruak malam ini. Tentang kenyataan yang berbanding terbalik dengan
pemikiran. Lebih tepatnya, tentang bayang-bayang yang menjerat kebebasan.
Kutatap wajah lelaki muda yang tergolek lemah di
hadapanku. Rona wajahnya tak lagi memancarkan kebahagian. Bibir mungilnya pucat
pasi. Bahkan tatapan matanya meredup.
Sulur-sulur selang infus membebat satu sisi tangannya. Sudah sekian lama
dia berbaring di tempat ini. Aku tahu dia sakit, teramat sakit. Tapi dia
sanggup mengemas deritanya dalam sesimpul senyum. Senyum yang dipaksakan.
“Sudahlah, berhenti menangis,” katanya lirih, “bila memang
sudah saatnya aku pergi, mau diapakan lagi.”
Bibirku kelu mendengar ucapannya. Bulir-bulir bening dari
sudut mataku semakin menderas. Tidakkah dia sadar, aku tak suka orang yang
bicarakan kematian. Apalagi dalam keadaan seperti ini.
Dahulu dia pernah mengingatkanku
tentang kematian. Dan.. tentang ketakutanku terhadap kematian. Aku rindu dia
yang bercerita tentang segalanya. Tentang perjuangannya untuk hidup. Tentang jerih payahnya melawan penyakit.
Diusapnya air mataku yang
hampir jatuh. Lalu tangan kanannya beralih membelaiku. “Aku ingin kamu tumbuh
menjadi dewasa. Menjadi orang yang kuat. Aku memang tak bisa melihatmu sukses
saat dewasa nanti. Tapi berjanjilah, kesuksesanmu kelak adalah kebahagiaan
untuk orang disekitarmu.”
Aku terdiam. Kurasakan
pelupuk mataku menghangat lagi. Aku semakin sesenggukan dihadapannya. Kugenggam
tangan kanannya yang masih membelai rambutku. “Aku takkan sanggup kehilanganmu,”
ucapku penuh kesesakkan.
Lalu kurasakkan genggaman
itu melemah. Kelopak matanya merapat. Dia sudah pergi.
Hati kecilku membeku. Aku merasakan kepedihan yang sangat
mendalam. Perih. napasku terengah menahan air mata. Seperti tak bernyawa. Malam
ini, aku harus kehilangannya.
Langit hitam di luar sana sudah tidak mampu membendung keeping-keping
uap. Rinai- rinai hujan deras menerpa bumi, melukiskan apa yang terjadi saat
ini. Dipenghujung tahun, hujan menemani kepergiannya.
Aku merapatkan jaket yang kukenakan, namun tubuhku tetap
saja menggigil. Bukan karena dinginnya malam, melainkan karena luka yang
merajam. Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku tahu, ini tak dapat
mengurangi derasnya air mata. Tak dapat membuatku lebih tenang. Namun aku hanya perlu membiarkan tubuhku
meluapkan segalanya. Setelah itu, aku tidak akan merasa sakit lagi. Semoga.