Senin, 30 Desember 2013

Hujan Akhir Desember (Cerpen)



Ketakutan menyeruak malam ini. Tentang kenyataan yang berbanding terbalik dengan pemikiran. Lebih tepatnya, tentang bayang-bayang yang menjerat kebebasan.
Kutatap wajah lelaki muda yang tergolek lemah di hadapanku. Rona wajahnya tak lagi memancarkan kebahagian. Bibir mungilnya pucat pasi. Bahkan tatapan matanya meredup.
Sulur-sulur selang infus membebat satu sisi tangannya. Sudah sekian lama dia berbaring di tempat ini. Aku tahu dia sakit, teramat sakit. Tapi dia sanggup mengemas deritanya dalam sesimpul senyum. Senyum yang dipaksakan.
“Sudahlah, berhenti menangis,” katanya lirih, “bila memang sudah saatnya aku pergi, mau diapakan lagi.”
Bibirku kelu mendengar ucapannya. Bulir-bulir bening dari sudut mataku semakin menderas. Tidakkah dia sadar, aku tak suka orang yang bicarakan kematian. Apalagi dalam keadaan seperti ini.
            Dahulu dia pernah mengingatkanku tentang kematian. Dan.. tentang ketakutanku terhadap kematian. Aku rindu dia yang bercerita tentang segalanya. Tentang perjuangannya untuk hidup.  Tentang jerih payahnya melawan penyakit.
            Diusapnya air mataku yang hampir jatuh. Lalu tangan kanannya beralih membelaiku. “Aku ingin kamu tumbuh menjadi dewasa. Menjadi orang yang kuat. Aku memang tak bisa melihatmu sukses saat dewasa nanti. Tapi berjanjilah, kesuksesanmu kelak adalah kebahagiaan untuk orang disekitarmu.”
            Aku terdiam. Kurasakan pelupuk mataku menghangat lagi. Aku semakin sesenggukan dihadapannya. Kugenggam tangan kanannya yang masih membelai rambutku. “Aku takkan sanggup kehilanganmu,” ucapku penuh kesesakkan.
            Lalu kurasakkan genggaman itu melemah. Kelopak matanya merapat. Dia sudah pergi.
Hati kecilku membeku. Aku merasakan kepedihan yang sangat mendalam. Perih. napasku terengah menahan air mata. Seperti tak bernyawa. Malam ini, aku harus kehilangannya.
Langit hitam di luar sana sudah tidak mampu membendung keeping-keping uap. Rinai- rinai hujan deras menerpa bumi, melukiskan apa yang terjadi saat ini. Dipenghujung tahun, hujan menemani kepergiannya.
Aku merapatkan jaket yang kukenakan, namun tubuhku tetap saja menggigil. Bukan karena dinginnya malam, melainkan karena luka yang merajam. Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku tahu, ini tak dapat mengurangi derasnya air mata. Tak dapat membuatku lebih tenang.  Namun aku hanya perlu membiarkan tubuhku meluapkan segalanya. Setelah itu, aku tidak akan merasa sakit lagi. Semoga.