Senin, 26 November 2012

TERPISAH (CERPEN)


Jangan ambil pusing tentang  apa yang melatarbelakangi cerpen ini, ingat ini hanya cerita fiksi :)

Hujan semakin deras turun. Aku berdiri di depan ruang kelasku, sambil menikmati aroma tanah kering yang telah diguyur oleh butiran-butiran air.  Aku suka aroma ini, wanginya melebihi harum bunga jenis apapun. Tak peduli rokku basah terkena cipratan-cipratan air, yang tepenting aku bisa menikmatinya, setidaknya membuatku bahagia.
Kutarik nafasku dalam-dalam kemudian kukeluarkan lagi. Kupejamkan mata ini, menikmati indahnya hujan.  Pikiranku melayang jauh ke angkasa, membayangkan bagaimana rasanya bila jadi tanah, pasti menyenangkan. Tentu saja dia takkan kekeringan, sebab ada hujan, dia akan selalu tercukupi.
“Kamu belum pulang?” tanya seseorang dengan suara lembutnya. Rupanya dia, Rasya, orang yang sangat aku kasihi.
“Belum, kan nunggu kamu,” jawabku sambil tertawa.
Rasya bergeming. Tak merespon apapun. Aneh, tak seperti biasanya. Kemudian Aku menatap matanya, memastikan bahwa dia baik-baik saja.
“Kamu sakit?” ucpaku sambil memegang dahinya dengan permukaan telapak tanganku.
“Tidak ada yang sakit kok,” dia menyingkirkan tanganku kemudian memalingkan muka.
Aku terkejut. Mulutku menganga heran. Benar-benar bukan Rasya yang kukenal. Apa aku punya kesalahan? Aku rasa tidak. Pagi tadi saja sikapnya belum seperti ini. Kini dia seperti orang asing bagiku.
“Kamu kenapa sih? Aneh banget. Kalau sakit bilang, jangan dipendam sendiri.”
Dia masih saja diam. Matanya seperti menyimpan kepedihan. Tapi aku tak mengerti apa itu. Berbagai pikiran terlintas di otakku. Rasanya akan ada yang terjadi, atau bisa jadi dia sedang dilanda masalah besar.
“Rasya? Jawab donk!” nada bicaraku meninggi.
“Aku ingin kita putus,” katanya dengan cepat.
Mataku membelalak, aku benar benar kaget mendengar ucapannya. Pikiranku berkecamuk dengan sendirinya, jiwa ini bergejolak. Aku tak paham apa maksudnya. Aku belum bisa percaya begitu saja.
“Putus?”
“Ya, putus. Bagaimana?
“Semudah itu kah?” air mataku sudah berada di sudut mata. Beberapa detik lagi mungkin akan menetes, tapi aku berusaha menahannya.
“Apa kau masih suka denganku?” pertanyaan ini adalah pertanyaan terbodoh yang pernah kudengar. Jelas saja aku masih menyukainya, karena kupikir tak ada alasan untuk membencinya.
“Harusnya aku yang bertanya demikian.”
“Kenapa?”
“Karna aku butuh penjelasan.”
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Aku diam, dia tak berbicara. Kami sama-sama memandang ke arah hujan yang semakin deras. Sebenarnya aku ingin menangis, tapi aku berusaha tegar. Aku tidak boleh terlihat lemah dihadapannya.
Aku mendongak ke atas, menatap langit. Betapa suramnya langit, hingga turut menghanyutkanku dalam hujan yang tak lagi indah di mataku.
“Aku ingin kita terpisah, entah karena takdir atau apapun,”  ucapnya datar.
“Aku ingin sendiri,” lanjutnya.
Kepedihan merajam jantungku. Aku tak kuasa lagi menahan air mata. Di hadapannya aku menangis. Benar-benar memalukan, tapi bagaimana lagi, aku merasa dipermainkan. Dulu dia menghiburku saat pilu, membawaku dalam sukacita, menopangku saat terjatuh, membangkitkanku saat terkulai lemah. Tapi kini dengan mudahnya dia menghancurkan segala yang ada.
Aku ingat, dulu dia pernah bilang bahwa aku orang terbaik semasa hidupnya. Dia takkan meninggalkanku. Tapi apa? Semua hanya omong kosong!
“Kau tak pernah mengerti, Rasya.”
“Aku selalu mencoba memahamimu,” suaranya begitu lembut, menguak kenangan yang pernah terjadi, dulu.
“Tapi kau tak bisa paham.”
“Bukankah mentari akan tersenyum bila kau dan aku terpisah?”
“Maksudmu?” aku tak mengerti ucapannya
“Kau dan aku bersatu, namun perbedaan tak pernah jadi satu.”
“Beda itu indah, bagiku.”
“Tak seindah kisah kita,” sambungnya.
Aku mulai lelah. Aku hanya bisa menjerit dalam hati. Berulang kali kuusap air mata ini. Tampaknya hujan melunturkan bahagiaku hingga mngharuskanku tenggelam dalam duka.
“Anggap saja kita terpisah oleh keadaan. Bukan atas kehendakku, melainkan kehendak Tuhan,” ucapnya sambil menyodorkan jam tangan pemberianku yang baru saja dilepasnya.
“Tak perlu bawa nama Tuhan.”
“Apa kau marah?”
“Pergilah, aku ingin sndiri.” Kataku sambil menyenderkan badan di tembok.
Hujan, langit kelam, dan air mata. Tiga hal yang melebur satu dalam kepedihan. Bahkan aku merasakan penyesalan yang begitu dalam.  Aku terisak dalam keheningan, sendiri kumenangis. Hujanlah yang menjadi saksi kisah kasihku dengannya, ketika aku dekat, kemudian jauh darinya.
Dia takkan pernah mengerrti apa yang kurasakan. Hingga kapanpun aku selalu menyayanginya walau dalam kebencian yang terajut dengan sendirinya. Hanya Tuhan yang tahu, apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku sendiri tak mampu menggambarkan rasa ini, terlalu sulit untuk dipahami. Ya, terpisah. Bukan dipisah ataupun memisah. Setidaknya aku tau makna cinta, yang berujung dengan kepahitan.