Senin, 22 Oktober 2012


Ini ada cerpen, silakan dibaca, boleh dijadiin referensi tapi jangn jadi plagiat ya :)

TANPA NAMA

Aku berdiri di tepi sungai yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahku. Ku pandangi air yang mengalir perlahan. Berdiri di sini, membuatku teringat akan kenangan yang begitu indah. Semua tentang kehidupanku di Bandung, tempat tinggalku dulu. Aku tak berhenti melempar kerikil ke arah sungai. Kuayunkan tanganku dari belakang ke depan.  Sesekali, kupandangi langit sore yang begitu indah. Biasan sinar matahari membuatnya tampak lebih hidup, memberi kedamain bagi setiap orang.
Terkadang aku merasa sebuah penyesalan. Tak pernah terbayang di pikiranku untuk tinggal di daerah ini. Pikiranku berkecamuk. Aku benar-benar merindukan tempatku dulu.
“Kasihan nasib batu. Hanya dilempar tanpa dipandang sebagai sesuatu yang istimewa,” ucap seseorang dari arah belakang, kemudian berdiri di sampingku.
Lelaki sebayaku itu membawa sebuah clurit dan mengenakan caping lusuh di kepalanya. Bajunya  tak layak pakai. Bibir keringnya begitu mungil dan mempesona, sebenarnya. 
“Tragis. Tuhan saja tak pernah membuang batu. Tapi kenapa ada manusia yang melakukan hal itu?” lanjutnya sambil memandang ke hamparan padi yang begitu luas.
Aku tertegun. Pikirku, ini hanya batu, dan tersedia melimpah di bumi ini. Ini hal sepele, namun lelaki ini begitu mempersoalkannya.
“Bukankah batu jumlahnya tak terbatas?” tanyaku sambil melirik ke arahnya.
“Sebanyak harga diri manusia tepatnya.” Sahutnya singkat tanpa menoleh ke arahku sedikitpun
“aku tak mengerti.”
“sama sepertiku.” Ucapnya sambil melepaskan caping yang digunakan.
“Terus maksud pembicaraanmu tadi apa?”
“Aku tak berbicara, hanya berpendapat.”
“Ya, itu maksudku,” kataku sedikit dongkol.
“Dan ini maksudku,” sahutnya .
Aku semakin bingung. Lelaki ini membuatku penasaran. Kuambil sebuah batu besar, kemudian kulemparkan ke dalam sungai hingga menimbulkan percikan air yang cukup banyak.
“Jika kau mengijinkan, bolehkah aku tahu namamu?” tanyaku sambil mengajukan tangan kanan.
“Pentingkah aku untuk orang sepertimu?”
“Tentu saja, kau membuatku penasaran sejak awal.”
“Tanya saja pada batu-batu yang kau buang,” jawabnya seraya pergi.
                Sinar matahari menerpa wajahku, melebur dengan pikiranku yang bergejolak. Terkadang hidup di sini ibarat berada dalam gua hitam, tak mengerti apapun yang terjadi, terlalu suluit dipahami.