Jangan ambil pusing tentang apa yang melatarbelakangi cerpen ini, ingat ini hanya cerita fiksi :)
Hujan semakin deras turun. Aku berdiri di depan ruang kelasku, sambil menikmati aroma tanah kering yang telah diguyur oleh butiran-butiran air. Aku suka aroma ini, wanginya melebihi harum bunga jenis apapun. Tak peduli rokku basah terkena cipratan-cipratan air, yang tepenting aku bisa menikmatinya, setidaknya membuatku bahagia.
Hujan semakin deras turun. Aku berdiri di depan ruang kelasku, sambil menikmati aroma tanah kering yang telah diguyur oleh butiran-butiran air. Aku suka aroma ini, wanginya melebihi harum bunga jenis apapun. Tak peduli rokku basah terkena cipratan-cipratan air, yang tepenting aku bisa menikmatinya, setidaknya membuatku bahagia.
Kutarik
nafasku dalam-dalam kemudian kukeluarkan lagi. Kupejamkan mata ini, menikmati
indahnya hujan. Pikiranku melayang jauh
ke angkasa, membayangkan bagaimana rasanya bila jadi tanah, pasti menyenangkan.
Tentu saja dia takkan kekeringan, sebab ada hujan, dia akan selalu tercukupi.
“Kamu
belum pulang?” tanya seseorang dengan suara lembutnya. Rupanya dia, Rasya,
orang yang sangat aku kasihi.
“Belum,
kan nunggu kamu,” jawabku sambil tertawa.
Rasya
bergeming. Tak merespon apapun. Aneh, tak seperti biasanya. Kemudian Aku menatap
matanya, memastikan bahwa dia baik-baik saja.
“Kamu
sakit?” ucpaku sambil memegang dahinya dengan permukaan telapak tanganku.
“Tidak
ada yang sakit kok,” dia menyingkirkan tanganku kemudian memalingkan muka.
Aku
terkejut. Mulutku menganga heran. Benar-benar bukan Rasya yang kukenal. Apa aku
punya kesalahan? Aku rasa tidak. Pagi tadi saja sikapnya belum seperti ini. Kini
dia seperti orang asing bagiku.
“Kamu
kenapa sih? Aneh banget. Kalau sakit bilang, jangan dipendam sendiri.”
Dia
masih saja diam. Matanya seperti menyimpan kepedihan. Tapi aku tak mengerti apa
itu. Berbagai pikiran terlintas di otakku. Rasanya akan ada yang terjadi, atau
bisa jadi dia sedang dilanda masalah besar.
“Rasya?
Jawab donk!” nada bicaraku meninggi.
“Aku
ingin kita putus,” katanya dengan cepat.
Mataku
membelalak, aku benar benar kaget mendengar ucapannya. Pikiranku berkecamuk
dengan sendirinya, jiwa ini bergejolak. Aku tak paham apa maksudnya. Aku belum
bisa percaya begitu saja.
“Putus?”
“Ya,
putus. Bagaimana?
“Semudah
itu kah?” air mataku sudah berada di sudut mata. Beberapa detik lagi mungkin
akan menetes, tapi aku berusaha menahannya.
“Apa
kau masih suka denganku?” pertanyaan ini adalah pertanyaan terbodoh yang pernah
kudengar. Jelas saja aku masih menyukainya, karena kupikir tak ada alasan untuk
membencinya.
“Harusnya
aku yang bertanya demikian.”
“Kenapa?”
“Karna
aku butuh penjelasan.”
Tiba-tiba
suasana menjadi hening. Aku diam, dia tak berbicara. Kami sama-sama memandang
ke arah hujan yang semakin deras. Sebenarnya aku ingin menangis, tapi aku
berusaha tegar. Aku tidak boleh terlihat lemah dihadapannya.
Aku
mendongak ke atas, menatap langit. Betapa suramnya langit, hingga turut
menghanyutkanku dalam hujan yang tak lagi indah di mataku.
“Aku
ingin kita terpisah, entah karena takdir atau apapun,” ucapnya datar.
“Aku
ingin sendiri,” lanjutnya.
Kepedihan
merajam jantungku. Aku tak kuasa lagi menahan air mata. Di hadapannya aku menangis.
Benar-benar memalukan, tapi bagaimana lagi, aku merasa dipermainkan. Dulu dia
menghiburku saat pilu, membawaku dalam sukacita, menopangku saat terjatuh,
membangkitkanku saat terkulai lemah. Tapi kini dengan mudahnya dia menghancurkan
segala yang ada.
Aku
ingat, dulu dia pernah bilang bahwa aku orang terbaik semasa hidupnya. Dia takkan
meninggalkanku. Tapi apa? Semua hanya omong kosong!
“Kau
tak pernah mengerti, Rasya.”
“Aku
selalu mencoba memahamimu,” suaranya begitu lembut, menguak kenangan yang
pernah terjadi, dulu.
“Tapi
kau tak bisa paham.”
“Bukankah
mentari akan tersenyum bila kau dan aku terpisah?”
“Maksudmu?”
aku tak mengerti ucapannya
“Kau
dan aku bersatu, namun perbedaan tak pernah jadi satu.”
“Beda
itu indah, bagiku.”
“Tak
seindah kisah kita,” sambungnya.
Aku
mulai lelah. Aku hanya bisa menjerit dalam hati. Berulang kali kuusap air mata
ini. Tampaknya hujan melunturkan bahagiaku hingga mngharuskanku tenggelam dalam
duka.
“Anggap
saja kita terpisah oleh keadaan. Bukan atas kehendakku, melainkan kehendak
Tuhan,” ucapnya sambil menyodorkan jam tangan pemberianku yang baru saja
dilepasnya.
“Tak
perlu bawa nama Tuhan.”
“Apa
kau marah?”
“Pergilah,
aku ingin sndiri.” Kataku sambil menyenderkan badan di tembok.
Hujan,
langit kelam, dan air mata. Tiga hal yang melebur satu dalam kepedihan. Bahkan aku
merasakan penyesalan yang begitu dalam. Aku
terisak dalam keheningan, sendiri kumenangis. Hujanlah yang menjadi saksi kisah
kasihku dengannya, ketika aku dekat, kemudian jauh darinya.
Dia
takkan pernah mengerrti apa yang kurasakan. Hingga kapanpun aku selalu
menyayanginya walau dalam kebencian yang terajut dengan sendirinya. Hanya Tuhan
yang tahu, apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku sendiri tak mampu menggambarkan
rasa ini, terlalu sulit untuk dipahami. Ya, terpisah. Bukan dipisah ataupun
memisah. Setidaknya aku tau makna cinta, yang berujung dengan kepahitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar